Hallo semua! Aku kembali lagi^^ apa
kabar kalian? Pasti sehat dong. Aku akan memposting suatu cerita yang agak
horror si, berbanding terbalik dari visi misi blog ini yang akan memposting
info dan pengalaman pribadiku yang suka cita, tapi tak apalah, sekali saja mh
wajar :D
Aku
curhat sedikit yah, dari dulu itu aku sangat suka seni, maupun itu seni rupa,
tari, musik, maupun grafis. Okee contoh yang terakhir tadi aku ngaku gak bisa
ngegambar :’v dulu aku suka sekali membuat sesuatu dari tanah liat, yah walaupun
gk bagus2 amat yg penting seru, itu tujuan sebenarnya, hanya untuk hiburan
bareng temen2. Dan gk salah kalo postingan terakhirku yg membahas Seni Grafis
(bisa cek disini) karena aku sangat menyukai seni. Dulu aku sebelum kerja
seperti sekarang, saat aku menyelesaikan UN di SMK-ku dulu, aku ingin sekali
melanjutkan kuliah dan mengambil Sastra Jawa. Kok Sastra Jawa? Gk matematika
atau teknik? Hehehe aku ingin yang gampang2 saja, gk mau ribet sama itung2an,
lagian aku ingin mendalami pengetahuanku tentang Seni, kebudayaan, dan bahasa
Sastra dengan mengambil Sastra Jawa. Tapi kenyataan berkata lain, aku gk punya
biaya buat kuliah T_T ini bener loh, jangan di ketawain :D
Karena
harus mengerti dengan keadaan, akupun membuang jauh2 harapanku itu dan hanya
menjadi karyawan swasta yg tiap tanggal tua minum Promagh gegara kurang makan.
Tapi Alhamdulillah, walaupun penghasilanku kecil, aku masih bisa bersyukur n
aku bisa membantu ortu-ku berdagang.
Balik lagi ke Sastra, walaupun aku
batal buat kuliah, tapi keinginanku belajar Sastra Jawa gk pernah aku batalin,
aku masih bisa baca buku, majalah, jurnal yg berkaitan dengan Sastra tanpa
perlu kuliah, itupun sudah cukup buat aku belajar sedikit demi sedikit.
*mikir
keras* kapan bahas Ceritanya? Halah kelamaan curhat nih XD okee deh kita to the
point aja, Cerita ini aku rangkum langsung dari buku; Pengantar Sastra
Indonesia yg di tulis oleh Surana, S.Pd dan di terbitkan oleh Tiga Serangkai.
Jika kalian ingin membacanya juga, silahkan cari bukunya dan buka halaman 45,
BAB 7 tentang cerita. Dan mohon maaf sebelumnya jika aku meng-copas cerita ini
tanpa izin, aku juga tidak akan memperbaiki kata yg gk bisa di mengerti oleh
pembaca karena menjaga keaslian buku. Jika sang penulis keberatan, silahkan
kirim keluhan anda lewat e-mail ku di sini vanogawaru@gmail.com dan aku akan menghapus postingan ini secepatnya,
karena walaupun tujuan blog untuk mempublikasikan hasil pemikiran seseorang dan
bersifat diary tapi aku tak mau meng-copas hasil karya seseorang karena itu
melanggar hak cipta, tapi aku di sini bertujuan untuk berbagi pengetahuan saja.
Tenang saja pak, aku kasih sumbernya kok :)
PERTEMUAN DENGAN ROH HALUS
Banyaklah sudah kita mendengar tentang roh halus,
hantu, peri, dan yang sejenis itu. Sebagian orang mengatakan bahwa mereka itu
lebih halus memang dari manusia, artinya mereka dapat melenyapkan diri dari
mata kita, tapi meskipun begitu bukanlah itu berarti lebih unggul dari manusia.
Secara lebih teliti barangkali dapat di katakan, bahwa meeka lebih unggul dari
manusia hanyalah dalam hal, bahwa mereka tidak terbatas oleh ruang dan waktu.
Tetapi bukanlah berarti bahwa mereka adalah lebih unggul dari manusia dalam
menguasai kehidupan alam nyata. Dunia mereka adalah dunia ghaib. Di sanalah
mereka berkuasa. Tetapi di dunia nyata ini kitalah yang berkuasa, sebab Tuhan
pun memang telah menguasakan pada kita. Meskipun begitu banyak pula yang
berpendapat lain dari itu. Di bawah ini akan saya ceritakan pengalaman salah
seorang teman saya, yaitu Ir. Hasan, yang juga dalam ceritanya menguatkan
pendapat bahwa di dunia kita ini, bagaimanapun juga kita bisa mengalahkan roh
halus.
Teman saya Hasan tadi, telah
berjuang dengan roh halus, bukannya dalam pergumulan atau boksen ataupun
tembak-menembak. Teman saya yang terpelajar telah berjuang mengalahkan sebuah
roh halus dengan diplomasi. Adapun ceritanya adalah begini:
Maka pada suatu hari, yaitu setelah
beberapa tahun Hasan menamatkan pelajarannya di Amerika, ia pulang berlibur ke
rumah orang tuanya di Wonogiri. Biasanya
orang tuanyalah yang suka berkunjung ke rumahnya di Yogya. Tapi kali ini ialah
yang berkunjung ke rumah orang tuanya di dusun yang kecil itu. Kunjungan ini
mempunyai arti yang istimewa. Yaitu untuk melunakkan kemasygulan hati orang
tuanya, sebab ia telah beberapa kali menolak untuk di kawinkan. Beberapa kali
ia telah menerangkan pada orang tuanya, bahwa kenangan percintaannya dengan
Endang, tunangannya yang dulu, belum bisa ia lupakan. Dan ia belum kepingin
kawin ataupun punya pacar lagi. Endang tunangannya yang dulu adalah perawan
yang cantik dengan muka yang halus dan badan yang semampai, tambahan pula Hasan
sangat mencintainya.
Itulah sebabnya dia tak bisa
melupakannya. Meskipun perempuan itu telah lima tahun yang lampau meninggal
dunia. Ia meninggal dunia karena jatuh waktu mendaki sebuah puncak gunung baru
yang bernama Gunung Gandul, yang terletak di tepi dusun yang kecil itu, yaitu
ketika ia bersama teman-temannya pergi berpiknik.
Kabarnya gadis itu beberapa jam,
saat sebelum kecelakaan dengan penuh semangat bercerita tentang percintaannya
dengan tunangannya, Hasan. Ia ceritakan bagaimana ia sangat mencintai pemuda
yang berbakat teknik tapi pandai pula menulis surat percintaan itu, seperti di
ceritakannya pula bagaimana pula ia mengalami ciuman pertamanya. Beberapa menit
kemudian setelah segala cerita itu, ia menginjak batu yang guyah sehingga
terjadilah kecelakaan yang meminta korban jiwanya itu. Ia mati seketika itu
juga, karena pecah sudah belakang kepalanya. Barang kali ia mati dengan kepala
masih menyimpan kenangan terhadap tunangannya. Dan banyaklah orang akan berkata
bahwa cara matinya adalah sangat menyedihkan: seakan-akan ia tidak rela akan
kematiannya. Mati tanpa keikhlasan. Sebab itu, demikian kata banyak orang, arwahnya
masih tetap ngelambrang, tidak mau tinggal di alam akhirat. Ia masih belum puas
dengan hidupnya yang dulu.
Dan tersebarlah cerita di antara
penduduk desa itu bahwa arwah yang patah hati itu sering mengganggu orang-orang
yang mendaki Gunung Gandul. Yang paling suka di ganggunya ialah para
gadis-gadis remaja. Itu sebabnya bahwa sejak meninggalnya Endang itu, banyak
para gadis pendaki itu yang mendapat kecelakaan ataupun sepulangnya dari
pendakian tiba-tiba sakit, mengigau, lalu meninggal dunia.
Hasan telah mendengar semua cerita
itu. Tetapi sekarang ia telah terlibat dalam peristiwa itu.
Ketika telah berjalan dua hari ia
tinggal pada orang tuanya itu, terjadilah peristiwa bahwa seorang gadis pelajar
SKP dari solo yang pergi mendaki Gunung Gandul, tiba-tiba menjadi kalap,
seperti orang gila dan bingung. Ia seperti orang yang tersesat masuk kedalam
sebuah gua kecil. Dan tak mau lagi di tarik ke luar. Katanya itulah rumahnya
dan ia tak mau lagi keluar dari situ. Kemudian dia mericaukan bermacam-macam
kalimat yang aneh, dan mengaku bahwa namanya sekarang adalah Endang. Padahal namanya
yang sesungguhnya adalah Fatima. Dengan demikian di katakana oranglah bahwa
gadis itu telah di rasuki oleh arwah Endang.
Berbagai dukun telah mencoba
menolong gadis itu, tetapi Endang masih tetap menguasainya. Demikian sampai dua
hari berjalan, gadis itu masih tetap dipengaruhi arwah itu. Ia tidak mau keluar
dari gua, tidak mau makan, tidak mau tidur, mukanya berubah mengerikan,
rambutnya tergerai, bajunya robek sehingga kelihatan buah dadanya, suaranya
besar, tangannya berdarah terluka dan demikian pula dahinya.
Kedua orang tuanya menangis mengadu
terseduh-seduh dan tetap menunggu anaknya di muka mulut gua yang gelap
itu. Anaknya tak bisa lagi mengenal
mereka. Berbagai pertolongan sudah di jalankan, tetapi semuanya sia-sia. Orang yang
datang sangat banyak hampir semuanya hanya bermaksud untuk menonton. Berita itu
telah sampai juga ke telinga Hasan. Tapi ia merasa bahwa ia tak tahu apa yang
mesti di perbuatnya. Akhirnya datanglah orang tua Fatima bersama beberapa orang
lainnya lagi kepadanya dan berkata minta tolong kepadanya, ia menjawab bahwa ia
bingung, tak mengerti apa yang mesti di kerjakan. Ia akan sangat suka sekali
menolong. Tapi tak tahu bagaimana caranya.
Kedua orang tua Fatima terus saja
mendesaknya sehingga akhirnya ia sanggup datang ke gua dan ia akan mencoba
barangkali ia dapat berbuat sesuatu.
Ketika sampai di gua itu ayah Fatima
membawanya ke mulut gua yang gelap itu dengan membawa obor. Demi Hasan masuk ke
gua, gadis itu menjerit dengan histeris –Hasanku! Hasanku!- kemudian gadis itu
membentangkan kedua lengannya, lalu menyerbu memeluk Hasan. Hasan sangat
terkejut dan jijik. Ia memberontak dan membanting gadis itu ke tanah, lalu lari
ke luar. Gadis itu meraung kesakitan, ketika ia bangkit kembali dan akan
mengejar Hasan. Ayahnya menahannya. Gadis itu meraung-raung dan
memanggil-manggil nama Hasan. Keadaannya menyedihkan sekali. Mukanya seperti
sebuah topeng yang mengerikan. Padahal sebenarnya dia cantik. Badannya basah
kuyup oleh keringat.
Kemudian tanah yang kotor lengket di
keringat itu, karena ia berguling-guling di tanah.
-Hasan! Teriaknya. –mana Hasan! Saya
hanya bisa damai dengan Hasan!
Hasan merasa kasihan pada gadis itu.
Sejenak ia mengira bahwa gadis itu gila. Tapi itu tidak mungkin terang gadis
itu kemasukan rohnya Endang. Sebab ia memanggil-manggil namanya, padahal ia
belum pernah bertemu dengan gadis itu sebelumnya. Ia bisa membayangkan
bagaimana tersiksanya gadis itu. Badan wadagnya sama sekali di kuasai oleh roh
yang memperlakukannya dengan semena-mena. Raga gadis itu telah rusak
betul-betul. Sekarang ia insyaf betul bahwa ia harus berbuat sesuatu untuk
menolong gadis itu. Dengan jalan bagaimanapun juga mesti mengusir roh itu dari
badan Fatima.
Dengan segera ia memasuki gua itu :
-diam! –teriaknya dengan penuh
perbawa.
-Hasan! –keluh Fatima sambilakan
merangkulnya.
-jangan dekat! –perintah hasan tanpa
mengerdip.
-kenapa, Hasan? Tak kenal Endang
lagikah kau.-
-tenanglah dulu! –pegang ia
kuat-kuat- perintahnya pada ayah Fatima. Kemudian masuklah pula paman Fatima
membantu memegangi tangannya. Gadis itu meronta-ronta dan berteriak.
Segera Hasan membentaknya lagi :
-Endang! Endang! Dengarkan saya.-
-Ya, manisku! Ya, manisku! –kata gadis
itu dengan lesu dan badannya di lunglaikan. Hasan memandangnya dengan tajam dan
penuh perbawa. Kemudian berkata dengan tenang :
-siapa kau sebenarnya?-
-Endang, manisku. Endang,
tunanganmu.-
-sebab aku tak mau mati. Aku mati
kecewa. Aku belum puas merasakan kehidupan.-
-tapi kenapa lalu orang lain kau
paksa, kau ajak menderita? Kau kejam, kau tak punya belas kasihan. Kau hanya
mementingkan dirimu sendiri.-
-jangan berkata begitu manisku. Manisku!
Saya tersiksa sekali, saya tak mau mati. Saya ingin bercinta lagi. Hasan maukah
kau menolongku?-
-tidak!-
-kau tidak kasihan kepada saya?-
-ya, kasihan!-
-kenapa tidak mau menolong saya?-
-karena keliru!-
-keliru? –teriaknya dengan suara
yang aneh sekali.
-ya, coba katakan, siapa namamu?-
-Endang.-
-kau dulu tunanganku?-
-ya.-
-kau pernah berpiknik dengan
teman-temanmu naik gunung itu?-
-ya.-
-lalu apa yang terjadi?-
-saya tergelincir. –kata gadis itu
dengan menangis.
-baik. Lalu apa yang terjadi
denganmu?-
-saya terjatuh dan tergelincir. Sakit
sekali. –jerit gadis itu dalam tangisnya.
-saya tahu kau tergelincir, saya
tahu kau jatuh ke jurang, saya tahu kepalamu pecah. –tapi bagaimana
seterusnya?-
-lalu saya jatuh.-
-jawablah pertanyaan saya! Hal itu
lalu menyebabkan apa padamu?-
-Hasan…-
-jawablah! Jawablah bahwa setelah
itu kau mati. Ya kau sudah mati.
-tapi saya tak ingat mati!.-
-bukan kau yang menguasai hidup dan
matimu! Yang memberikan kematian ialah yang memberi nasibmu. Kau tidak
menyadari keadaanmu.-
-hasan, senang kah kau kalau saya
mati?-
-tidak! Tetapi saya menyadari
keadaan. Saya sedih bahwa kau mati. Saya tidak bisa melupakan kenangan
percintaan kita. Itu sebabnya saya tak mau kawin sampai sekarang. Tapi saya
menyadari keadaan. Saya tidak ingin berbuat melawan kodrat.
-hasan, kau tetap mencintai saya?-
-ya.-
-saya juga sangat mencintaimu. Saya ingin
kau bahagia!-
-kenapa?-
-karena sekarang kau mengecewakan
saya….
Saya ngeri melihat kekejamanmu
sekarang, saya ngeri melihat kau berbuat melawan kodrat. Saya menantangmu!.-
-Hasan! Hasan. –lengking gadis itu.
-tinggalkan gadis itu!-
-tidak! Saya ingin hidup! Saya ingin
melampiaskan kekecewaan saya!-
-tapi tidak begini caranya! Kau tidak
adil! Apa kau tak kasihan pada gadis ini?
-apa kau tak kasihan pada saya?-
-kau belum mengerti juga! –kata
hasan dengan pandangan tajam. Tiba-tiba ia mengeluarkan pisau lipat yang berada
di sakunya.
Ia membuka pisau itu lalu bertanya:
-kau masih ingat ibumu?-
-ya, tentu saja. Ia sangat
mencintaiku. –tiba-tiba gadis itu menangis dan berkata antara sedu-sedunya. –ibuku
sangat manis. Ia suka membuat panganan yang lezat bagiku. Kasihan sekarang dia
sudah tua dan hidup sendirian saja.-
-ibu! Ibu! Kau terlalu banyak
menderita. –lalu gadis itu menangis tersendu. Hasan bersuara lagi :
-kau juga mencintai saya?-
-tentu, manisku! Saya sangat, saya
sangat mencintaimu!-
Tiba-tiba ia mendekati ayah Fatima
dan memegangi lehernya, kemudian bertanya :
-kau lihat orang ini? Apa tidak
kelihatan menderita? Lihatlah matanya yang penuh ketakutan dan kekecewaan ini. Lihatlah
pisau di tangan saya! Saya akan menikam orang ini pada lehernya. Ia akan mati
dengan penuh kekecewaan dan penderitaan. Kemudian biarlah nanti arwahnya tidak
merasa puas dan arwahnya nanti mengikuti jejakmu dengan melampiaskan dendamnya.
Biarlah ia nanti melampiaskan dendamnya dengan jalan masuk kedalam tubuh ibumu
dan tubuhku. Kau ingin seperti itu? Bisa kah kau bayangkan apa yang terjadi
nanti pada ibumu dan padaku?-
-Hasan! Ibuku!-
-bagaimana? Relakah kau ibumu dan
kekasihmu kemasukan arwah?-
-tidak! Tidak!-
-sekarang tinggalkanlah badan anak
ini!-
-kau mencintaiku bukan?-
-tinggalkan badan anak ini! Saya akan
mencintaimu sampai mati. Pergilah! Hapuskanlah kengerianku padamu. Pergi!-
-Hasan! Hasan!-
Hasan menekan pisaunya di leher ayah
Fatima: -kau ingin arwah orang ini menyiksa ibumu dan kekasihmu?-
-tidak! Tidaaak! –bersamaan dengan
itu arwah Endang pergi dari gadis itu sambil membantingkan tubuh gadis itu
keras-keras ke tanah.
Gadis itu terkulai tak berdaya. Ia pingsan
dan sesak nafasnya. Badannya penuh dengan kotoran dan luka-luka. Hasan berjongkok
dan berkata sambil menatap tajam ke mata gadis itu, seakan-akan ia hendak
menghusir Endang untuk penghabisan kalinya seandainya arwah itu masih ada di
situ :
-Pergilah Endang! Pulanglah ketempatmu
sebenarnya.-
Tunggu saya di sana. Saya pasti datang padamu dalam keadaan
masih seperti ini. Saya tetap mencintaimu dan saya tak akan kawin selama
hidupku. Endang kembalilah saja ke tempatmu yang selayaknya. Relalah menungguku
di sana, saya pasti datang manisku! Saya pasti datang!
Source : Buku; Pengantar Sastra Indonesia, penulis; Surana, S.Pd terbitan; Tiga Serangkai